Keberadaan Bank Indonesia (BI) sebagai bank sentral di Indonesia tidak dapat dipisahkan dari keberadaan De Javasche Bank (BJB) yang merupakan bank sirkulasi di zaman pemerintahan Hindia Belanda pada tahun 1828. Selanjutnya, pada zaman setelah proklamasi, NICA kembali memerintahkan DJB untuk mengedarkan uang NICA. Sementara itu, pada saat yang sama, Pemerintah Republik Indonesia juga mengeluarkan Oeang Republik Indonesia (ORI) melalui Bank Negara Indonesia (BNI) sehingga terjadi peperangan mata uang. DJB masih bertahan hingga zaman Republik Indonesia Serikat (RIS). Hingga akhirnya, pada tahun 1951, DJB kemudian dinasionalisasi oleh Pemerintah Indonesia dengan membeli saham DJB sebesar 97% sebagai upaya untuk mendirikan Bank Sentral di Indonesia. Nama DJB kemudian diganti menjadi Bank Indonesia pada 1 Juli 1953 setelah dikeluarkannya UU No. 11 Tahun 1953 yang berisi tentang Pokok Bank Indonesia.
Ketika Indonesia dipimpin oleh Demokrasi Terpimpin muncul Bank Negara Indonesia (BNI) yang merupakan wadah untuk menyatukan beberapa bank โ bank negara dalam satu kesatuan tunggal. Hal ini dilakukan dengan adanya Perpres No. 17 Tahun 1965. Akan tetapi, melalui UU No. 21 dan 22 Tahun 1968, bank โ bank tersebut akhirnya kembali berdiri sendiri. BI sebagai bank sentral juga mengeluarkan Pakto 88 pada tahun 1988 untuk memberikan kemudahan izin dalam pendirian bank baru. Sementara itu, pada tahun 1999, BI ditetapkan sebagai bank sentral dengan sifat independen berdasarkan UU No. 23 Tahun 1999. Hal ini kemudian ditegaskan kembali berdasarkan UU No. 3 Tahun 2004. Sedangkan UU No. 6 Tahun 2009 menyatakan bahwa BI berfungsi sebagai Lender of the Last Resort.